Wednesday, February 27, 2013

Tertipu Oleh Dunia



Mayoritas manusia tertipu oleh dunia dan kehidupan yang ada, lalu mereka lebih mementingkannya daripada kehidupan akhirat dan lebih ridha kepadanya daripada akhirat. Sampai-sampai di antara mereka ada yang berkata:

الدُّنْيَا نَقْدٌ ، وَالْآخِرَةُ نَسِيئَةٌ ، وَالنَّقْدُ أَحْسَنُ مِنَ النَّسِيئَةِ

“Dunia ini sama dengan pembayaran secara tunai dan akhirat sama dengan pembayaran secara kredit. Tentu saja yang tunai lebih baik daripada yang kredit.”

Ada pula yang berkata:

ذَرَّةٌ مَنْقُودَةٌ ، وَلَا دُرَّةٌ مَوْعُودَةٌ

“Dunia ini adalah sebiji atom yang dibayarkan secara kontan dan bukan sebiji mutiara yang masih dijanjikan.”

Ada pula yang berkata:

لَذَّاتُ الدُّنْيَا مُتَيَقَّنَةٌ ، وَلَذَّاتُ الْآخِرَةِ مَشْكُوكٌ فِيهَا ، وَلَا أَدَعُ الْيَقِينَ بِالشَّكِّ

“Kesenangan dunia ini meyakinkan sedangkan kesenangan akhirat masih meragukan. Aku tidak akan meninggalkan yang meyakinkan dengan sesuatu yang meragukan.”

Tentu saja ini merupakan pemutarbalikan yang dilakukan syetan dan bisikannya. Binatang yang paling bodoh pun lebih menalar daripada orang-orang yang berkata seperti itu. Sebab jika binatang merasa takut kepada sesuatu, ia tidak mau beranjak mendekatinya meskipun ia dilecut dan dipukuli. Sementara di antara orang-orang itu justru memilih kebinasaan bagi dirinya. Jadi dia menempatkan dirinya di antara orang-orang yang membenarkan dan mendustakan.


Dengan perumpamaan ini, sekiranya dia termasuk orang yang beriman kepada Allah, Rasul-Nya, perjumpaan dengan-Nya dan Hari Pembalasan, maka dia adalah orang yang paling merugi, sebab jauh-jauh hari sudah tahu. Jika dia tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, tentu keadaannya lebih parah lagi.

Tentang perkataan seseorang, “Tentu saja yang tunai lebih baik daripada yang kredit”, dapat ditanggapi sebagai berikut:

Jika nilai pembayaran antara tunai dan kredit sama, tentu saja yang tunai lebih baik daripada yang kredit. Tapi jika nilainya berbeda, yang kredit lebih banyak dan lebih baik, maka pembayaran secara kredit ini tentu saja lebih baik. Lalu bagaimana mungkin antara dunia dan akhirat disamakan, padahal dunia seluruhnya, semenjak yang pertama hingga yang terakhir, serupa dengan satu tarikan nafas dari sekian banyak tarikan nafas  akhirat?

Hal ini seperti yang disebutkan di dalam Musnad Al-Imam Ahmad dan At-Tirmidzy dari hadits Al-Mustaurid bin Syaddad, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

) مَا الدُّنْيَا فِي الْآخِرَةِ إِلَّا كَمَا يُدْخِلُ أَحَدُكُمْ إِصْبَعَهُ فِي الْيَمِّ فَلْيَنْظُرْ بِمَ يَرْجِعُ(

“Tidaklah dunia ini di akhirat melainkan seperti jika salah seorang di antara kalian memasukkan jari-jarinya ke laut. Maka hendaknya dia melihat apa yang melekat ketika dia menariknya kembali.”

Mementingkan pembayaran secara tunai daripada secara kredit, semacam ini merupakan kebodohan. Jika seperti itu gambaran dunia dibandingkan dengan akhirat, lalu apalah arti usia manusia jika dibandingkan dengan akhirat? Lalu siapakah yang lebih layak disebut orang berakal? Apakah dia orang yang lebih mementingkan dunia dengan masanya yang relatif singkat dan tidak memiliki kebaikan abadi seperti di akhirat, ataukah orang yang meninggalkan sesuatu yang remeh dan hina, yang tak seberapa lama akan terputus, tidak penting dan tidak ada nilainya serta tidak mencapai puncaknya?

Tentang perkataan orang lain, “Aku tidak akan meninggalkan yang meyakinkan dengan sesuatu yang meragukan”, dapat ditanggapi sebagai berikut:

Boleh jadi perkataan itu muncul disebabkan keraguan terhadap janji Allah dan Rasul-Nya atau berdasarkan keyakinan kepada janji itu. Jika engkau meyakininya, tentu engkau takkan meninggalkan melainkan sebiji atom yang ada dan yang pasti sirna, untuk sesuatu yang meyakinkan, tidak meragukan dan tidak akan terputus. Jika engkau ragu-ragu dan menyangsikan, perhatikanlah ayat-ayat Allah yang menunjukkan keberadaan, kekuasaan dan kehendak-Nya serta kebenaran apa yang disampaikan para rasul di sisi-Nya. Berdirilah di hadapan Allah, lihat dan perhatikan, agar engkau mendapat kejelasan bahwa apa yang mereka bawa dari Allah itu adalah benar,  yang tiada keraguan di dalamnya, bahwa Pencipta alam, Rabb langit dan bumi tidak akan mengingkari apa yang telah disampaikan para rasul-Nya. Sebab setiap orang yang memiliki fitrah suci tentu akan menganggap mustahil jika penguasa yang sebenarnya lemah dan bodoh, tidak mengetahui apapun, tidak mendengar, tidak melihat, tidak berkata, tidak memerintah, tidak melarang, tidak memberi pahala, tidak menyiksa, tidak memuliakan siapa yang dikehendaki-Nya, tidak menghinakan siapa yang dikehendaki-Nya, tidak mengutus para rasul ke dunia, tidak memperhatikan keadaan rakyat-Nya, tetapi membiarkan dan menelantarkan mereka begitu saja. Yang demikian ini menodai kekuasaannya dan tidak layak bagi seorang raja di dunia. Lalu bagaimana mungkin hal itu layak bagi Raja segala raja?

Jika seseorang memperhatikan kedaan dirinya, semenjak permulaan ketika masih berupa setetes air mani hingga tumbuh sempurna dan normal, tentu dia akan mendapat kejelasan bahwa Dzat yang telah memperhatikannya dan mengubah keadaannya hingga seperti yang tampak saat ini, tentu tidak layak jika Dia menyia-nyiakan dan menelantarkan dirinya, tidak memerintah dan melarangnya, tidak mengetahui hak-Nya atas dia, tidak memberikan pahala dan siksa kepadanya. Jika hamba benar-benar memperhatikan, apa pun yang dapat dia lihat dan apa yang tidak dapat dia lihat, merupakan dalil tauhid, nubuwah dan hari kebangkitan, bahwa Al-Qur’an adalah kalam Allah.

Allah berfirman:

{فَلَا أُقْسِمُ بِمَا تُبْصِرُونَ وَمَا لَا تُبْصِرُونَ إِنَّهُ لَقَوْلُ رَسُولٍ كَرِيمٍ}

“Maka Aku bersumpah dengan apa yang kalian lihat. Dan, dengan apa yang tidak kalian lihat. Sesungguhnya Al-Qur’an itu adalah benar-benar wahyu (Allah yang diturunkan kepada) Rasul yang mulia.” (Q.S. Al-Haqqah: 38-40)
{وَفِي أَنْفُسِكُمْ أَفَلَا تُبْصِرُونَ}
“Dan (juga) pada diri kalian sendiri, maka apakah kalian tiada memperhatikan?” (Q.S. Adz-Dzariat: 21)

Diri manusia merupakan bukti keberadaan Peniptanya, keesaan-Nya, kebenaran para rasul-Nya dan ketetapan sifat-sifat kesempurnaan-Nya.

Dengan begitu jelaslah bahwa orang yang mengabaikan masalah ini, telah tertipu dari dua sisi pertimbangan, yaitu pertimbangan pembenaran dan keyakinannya, pertimbangan pendustaan dan keraguannya.




Sumber: Al-Jawaab Al-Kaafy, Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah
Penerjemah: Kathur Suhardi
Dari kitab: Noktah-noktah Dosa, Terapi Penyakit Hati, Pustaka Darul Falah


No comments:

Post a Comment