Apabilah
Allah Ta’ala menahan satu kenikmatan dunia dari hamba-Nya yang beriman,
niscaya Dia menggantinya dengan nikmat yang lebih baik dan bermanfaat baginya.
Penggantian
berupa kenikmatan yang lebih baik itu hanya dikaruniakan kepada orang Mukmin.
Ia sama sekali tidak diberikan kepada selain mereka. Allah Ta’ala
sengaja tidak memberikan bagian yang rendah dan hina kepada orang Mukmin
–bahkan Dia tidak meridhai hal itu- agar Dia dapat memberinya bagian yang jauh
lebih baik lagi mulia.
Hanya
saja, ketidaktahuan hamba terhadap kemaslahatan dirinya dan kemurahan Rabbnya,
serta hikmah dan kelembutan-Nya, yang membuatnya tidak dapat membedakan antara
penlakan dan penundaan dari Allah. Karenanya, ia sangat berharap mendapatkan
segala keinginannya di dunia sekalipun itu hina, dan tidak mengharapkan
penundaannya hingga akhirat meskipun itu lebih mulia baginya. Seandainya
seorang hamba benar-benar mengenal Rabbnya –meskipun hal itu sangat sukar-
niscaya ia akan menyadari bahwa karunia Allah berupa ditahannya kesenangan
duniawi dari dirinya adalah lebih besar nilainya daripada segala yang pernah
diberikan-Nya kepadanya semasa di dunia.
Allah
Ta’ala tidak menolak sesuatu yang
diminta hamba-Nya, melainkan karen Dia ingin memberikan yang lebih baik kepada
hamba itu. Allah Ta’ala tidak memberikan hamba-Nya cobaan melainkan
untuk mensejahterakannya, tidak mengujinya melainkan untuk mensucikannya, tidak
mematikannya melainkan untuk menghidupkannya kembali, dan tidak melahirkannya
ke dunia ini melainkan agar ia dapat berbekal untuk menemui-Nya dan meniti
jalan yang akan mengantarkan kepada-Nya.
Demikianlah.
Allah menjadikan malam dan siang silih berganti bagi orang yang ingin mengambil
pelajaran tau orang yang ingin bersyukur. Namun, orang-orang yang zalim tetap
memilih kekufuran. Dan hanya kepada Allah saja kita memohon pertolongan.
Sumber: Fawaaid Al-Fawaaid, Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah
Diambil dari kitab Fawaidul Fawaid, cetakan Pustaka Imam Syafi'i
No comments:
Post a Comment