Thursday, March 7, 2013

Bentuk-bentuk Pengabaian Terhadap Al-Qur’an



Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:



{وَقَالَ ٱلرَّسُولُ يَٰرَبِّ إِنَّ قَوْمِى ٱتَّخَذُوا۟ هَٰذَا ٱلْقُرْءَانَ مَهْجُورًۭا}

“Berkatalah Rasul: "Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku menjadikan Al Qur'an ini suatu yang tidak diacuhkan".” (Q.S. Al-Furqan: 30)

Ada beberapa perbuatan manusia yang dapat dikategorikan sebagai pengabaian terhadap Al-Qur’an, yaitu:
 
1. Tidak mendengarkan, mengimani dan memperhatikan Al-Qur’an. 

2. Tidak mengamalkan ketentuan halal-haram di dalam Al-Qur’an, meskipun ia sudah membaca dan mengimaninya. 

3. Tidak memutuskan hukum berdasarkan Al-Qur’an dan tidak menjadikan Al-Qur’an sebagai sumber hukum, baik dalam masalah yang terkait dengan pokok-pokok agama maupun cabang-cabangnya; bahkan beriktikad bahwa Al-Qur’an dan dalil-dalil tekstualnya tidak menunjukkan kebenaran yang bisa diyakini seratus persen. 

4. Tidak menghayati, memahami dan mengetahui maksud pernyataan-pernyataan  yang diungkapkan di dalam Al-Qur’an. 

5. Tidak menjadikan Al-Qur’an sebagai terapi dari segala penyakit hati, malah mencari penyembuhan dari selainnya.

Semua perbuatan itu termasuk dalam kategori mengabaikan Al-Qur’an; meskipun kadar atau tingkat pengabaiannya berbeda-beda antara perbuatan yang satu dengan lainnya.

Demikian pula, ada beberapa kegundahan dan kesangsian di dalam hati yang termasuk kategor keraguan terhadap Al-Qur’an, yaitu:

1. Keraguan tentang diturunkannya Al-Qur’an dan keberadaannya sebagai kebenaran yang bersumber dari sisi Allah.

2. Keraguan tentang siapakah yang mengatakan kalimat-kalimat Al-Qur’an, apakah ia memang firman Allah, ataukah ia hanya salah satu makhluk Allah yang diilhamkan kepada seorang makhluk untuk mengatakannya.

3. Keraguan perihal memadai atau tidaknya Al-Qur’an dalam menjawab persoalan umat manusia, sehingga di samping merujuknya, mereka juga merasa masih membutuhkan logika dan analogi, opini atau kebijakan.

4. Keraguan mengenai makna yang dimaksudkan oleh kata atau kalimat dalam Al-Qur’an; apakah makna yang diinginkan darinya adalah makna hakikat yang sebenarnya, ataukah takwilnya, yaitu dengan memahaminya bukan dengan makna hakikatnya, tapi dengan penakwilan yang terkesan dipaksakan dan mengakibatkan munculnya beragam makna alternatif.

5. Keraguan mengenai makna hakikat tersebut; maksudnya, meskipun makna hakikat ini merupakan makna yang dikehendaki, tapi apakah ia dikehendaki dengan sejatinya, ataukah ia dikehendaki karena adanya suatu maslahat.

Lima keraguan tersebut merupakan keraguan terhadap Al-Qur’an, yang pasti disadari dan dirasakan di dalam hati orang-orang yang dihinggapinya.

Sungguh, semua orang yang suka berbuat bid’ah dalam urusan agama, di dalam hatinya pasti Anda temukan keraguan terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang menentang perbuatan bid’ahnya. Demikian pula dengan seseorang yang suka berbuat jahat, di dalam hatinya pasti Anda temukan keraguan terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang menghalangi  kejahatan yang diinginkannya.

Renungkanlah uraian di atas, kemudian terimalah kesimpulan apa pun yang Anda dapatkan.


Sumber: Fawaaid Al-Fawaaid, Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah
Diketik ulang dari Fawaidul Fawaid, cet. Pustaka Imam Syafi’i

1 comment:

  1. Bener-bener mendapatkan kesan yang mendalam bagi yang mau merenungi ini.

    ReplyDelete