Wednesday, March 6, 2013

Ulumul Qur’an dan Sejarah Perkembangannya



Al-Qur’an adalah mukjizat Islam yang abadi dimana semakin maju ilmu pengetahuan, semakin tampak validitas kemukjizatannya. Allah subhanahu wa ta’ala menurunkannya kepada Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam, demi membebaskan manusia dari berbagai kegelapan hidup menuju cahaya Ilahi, dan membimbing mereka ke jalan yang lurus. Rasulullah menyampaikannya kepada para sahabatnya –sebagai penduduk asli Arab- yang sudah tentu dapat memahami tabiat mereka. Jika terdapat sesuatu yang kurang jelas bagi mereka tentang ayat-ayat yang mereka terima, mereka langsung menanyakannya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.
           
Al-Bukhary dan Muslim meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu anh, bahwa ketika turun ayat,

{ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَلَمْ يَلْبِسُوٓا۟ إِيمَٰنَهُم بِظُلْمٍ أُو۟لَٰٓئِكَ لَهُمُ ٱلْأَمْنُ وَهُم مُّهْتَدُونَ}

“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan iman mereka dengan kelaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Q.S. Al-An’am: 82)

...orang-orang merasa keberatan dengan ayat tersebut. Lalu mereka bertanya kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, mana ada orang yang tidak menzalimi dirinya?” Beliau menjawab:

إنه ليس الذي تعنون، ألم تسمعوا ما قال العبد الصالح

“Sesungguhnya pemahamannya tidak seperti yang kalian maksudkan, tidakkah kalian mendengar apa yang dikatakan seorang hamba saleh (kepada anaknya):


{إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ}

“Sesungguhnya syirik itu adalah kezhaliman yang besar.” (Q.S. Luqman: 13)

Adalah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, memberi tafsiran kepada mereka tentang beberapa ayat. Imam Muslim dan lainnya mengeluarkan hadits yang diriwayatkan dari Uqbah bin Amir, dia berkata, “Saya pernah mendengar Rasulullah membaca di atas mimbar,

{وَأَعِدُّوا۟ لَهُم مَّا ٱسْتَطَعْتُم مِّن قُوَّةٍۢ}

“Dan persiapkanlah segala jenis kekuatan yang dapat kamu sediakan untuk menghadapi mereka...” (Q.S. Al-Anfal: 60)

Lalu, beliau bersabda:

"ألا إن القوة الرمي"

“Ketahuilah, sesungguhnya kekuatan (al-quwwah) tersebut adalah memanah.” (H.R. Muslim, Ahmad, Abu Daud, At-Tirmidzy, Ibnu Majah dan Ad-Darimy)

Para sahabat sangat bersemangat untuk mendapatkan pengajaran Al-Qur’an Al-Karim dari Rasulullah. Mereka ingin menghafal dan memahaminya. Bagi mereka, ini merupakan suatu kehormatan.

Diriwayatkan dari Anas radhiyallahu anh, ia berkata, “Ada seorang laki-laki di antara kami yang apabila membaca surat Al-Baqarah dan Ali Imran, ia begitu antusias.” (H.R. Ahmad)
           
Seiring dengan itu, mereka juga bersungguh-sungguh mengamalkannya dan menegakkan hukum-hukumnya.
           
Abu Abdirrahman As-Sulamy meriwayatkan, bahwa orang-orang yang biasa membacakan Al-Qur’an kepada kami, seperti Utsman bin Affan dan Abdullah bin Mas’ud, serta yang lainnya; apabila mereka belajar sepuluh ayat dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, mereka enggan melewatinya sebelum memahami dan mengamalkannya. Mereka mengatakan, “Kami mempelajari Al-Qur’an, ilmu dan amal sekaligus.” (H.R. Abdur Razaq)
           
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tidak mengizinkan mereka menulis apa pun selain Al-Qur’an, sebab ditakutkan dapat tercampur aduk dengan yang lain.
           
Muslim meriwayatkan dari Abu Said Al-Khudry, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

"لا تكتبوا عني, ومَن كتب عني غير القرآن فليمحه، وحدِّثوا عني ولا حَرَج، ومَن كَذَبَ عليَّ متعمدًا فليتبوأ مقعده من النار"

‘Jangan sekali-kali menulis apa pun dariku. Barangsiapa menulis sesuatu selain Al-Qur’an dariku maka hapuslah. Sampaikanlah haditsku, tidak masalah. Namun, barangsiapa mendustakan aku dengan sengaja, maka nerakalah tempatnya.”
Sumber foto: altahera-net
           
Sekalipun Rasulullah pernah mengizinkan sebagian sahabatnya setelah itu untuk menulis hadits, sesungguhnya hal-hal yang berkaitan dengan Al-Qur’an masih tetap bersandar pada riwayat, yaitu melalui talqin.[1] Demikianlah yang terjadi pada masa Rasul, masa Khalifah Abu Bakr, dan Umar radhiyallahu anhuma.
           
Lalu, pada masa Khalifah Utsman[2] radhiyallahu anh, sesuai dengan tuntutan kondisi membuat suatu terobosan ijtihad mulia, yaitu demi menyatukan kaum muslimin dengan pedoman satu mushaf yang kemudian diberi nama mushaf Al-Imam. Selanjutnya, mushaf tersebut dikirim ke berbagai negeri saat itu. Adapun tulisan huruf-hurufnya disebut sebagai rasm Utsmany, yang dikaitkan dengan nama Khalifah Utsman. Langkah ini adalah awal munculnya ilmu penulisan rasm Al-Qur’an.
           
Kemudian, Khalifah Ali radhiyallahu anh menyuruh Abul Aswad Ad-Du’aly untuk menggagas kaedah nahwu, demi menjaga adanya kekeliruan dalam pengucapan dan untuk lebih memantapkan bagi pembacaan Al-Qur’an. Hal ini dianggap sebagai cikal bakal dari munculnya ilmu i’rab Al-Qur’an.
           
Para sahabat pun meneruskan tradisi memahami makna-makna Al-Qur’an dan tafsirnya sesuai dengan kondisi mereka masing-masing; baik kemampuan yang berbeda dalam memahami maupun intensitas dalam kedekatannya dengan Rasulullah. Selanjutnya, dalam kondisi demikianlah murid-murid para sahabat dari kalangan tabi’in mengambil ilmu dari mereka.
           
Di antara para mufassir terpopular di kalangan sahabat Nabi adalah: empat khalifah, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Musa Al-Asy’ary dan Abdullah bin Az-Zubair.
           
Cukup banyak riwayat-riwayat tentang tafsir yang diriwayatkan dari beberapa sahabat semisal: Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud, Ibay bin Ka’ab. Dan biasanya apa yang diriwayatkan dari mereka tidaklah selalu mengandung tafsir Al-Qur’an secara utuh, tetapi masih berkisar tentang makna-makna beberapa ayat, serta penjelasan ayat yang masih samar dan global.
           
Adapun dari kalangan tabi’in, tidak sedikit yang menimba ilmu dari sahabat, dan kemudian melakukan ijtihad dalam menafsirkan ayat.
           
Di antara murid-murid Ibnu Abbas yang cukup masyhur adalah Said bin Jubair, Mujahid, Ikrimah maula Ibnu Abbas, Thawus bin Kisan Al-Yamany, dan Atha’ bin Abi Rabah.
           
Murid Ubay bin Ka’ab yang popular di Madinah adalah Zaid bin Aslam, Abul Aliyah, dan Muhammad bin Ka’ab Al-Qurazhi.
           
Di Irak, terdapat beberapa murid Abdullah bin Mas’ud yang juga terkenal sebagai mufassir. Mereka yaitu: Alqamah bin Qais, Masruq bin Al-Ajda’, Aswad bin Yazid, Amir Asy-Sya’by, Hasan Al-Bashry, dan Qatadah bin Di’amah As-Sadusy.
           
Menurut Ibnu Taimiyyah, ada beberapa orang yang terkemuka dalam bidang tafsir ini di Makkah. Mereka adalah sahabat-sahabat Ibnu Abbas seperti: Mujahid, Atha’ bin Abi Rabah, Ikrimah maula Ibnu Abbas, Thawus bin Kisan, Abu Asy-Sya’tsa’, Said bin Jubair dan lain-lain. Demikian juga di Kufah dari kalangan sahabat-sahabat Ibnu Mas’ud. Sedangkan ulama tafsir di Madinah, yaitu: Zaid bin Aslam (guru Imam Malik_, Abdurrahman bin Zaid, dan Abdullah bin Wahab.[3]
           
Adapun jenis ilmu yang diriwayatkan dari mereka itu mencakup: ilmu tafsir, ilmu gharib Al-Qur’an, ilmu asbaab an-nuzul, ilmu Makkiyyah-Madaniyyah dan ilmu naasikh-mansuukh. Tetapi, semua ini diriwayatkan dengan cara talqin (belajar langsung dari guru).


Masa Kodifikasi
           
Abad kedua adalah masa kodifikasi (التدوين). Mula-mula kodifikasi hadits dengan metode penggunaan bab-bab yang kurang sistemarik. Semuanya mencakup segala yang berkaitan dengan tafsir. Sebagian ulama menyatukan tafsir yang diriwayatkan tanpa melihat apakah itu berasal dari Nabi, sahabat atau tabi’in.
           
Sumber foto: quran-m.net
Tokoh-tokoh yang melakukan kodifikasi itu di antaranya Yazid Harun As-Sulamy (w. 117 H), Syu’bah bin Al-Hajjaj (w. 160 H), Waki’ bin Al-Jarrah (w. 197 H), Sufyan bin Uyainah (w. 198 H) dan Abdul Razzaq bin Hammam (w. 211 H). Kesemua ulama itu pada dasarnya termasuk ulama hadits. Hingga sekarang kita belum menemui penjelasan-penjelasan tafsir mereka dalam berbagai kitab.
           
Pada masa selanjutnya, sekelompok ulama melakukan penafsiran secara komprehensif terhadap Al-Qur’an sesuai tertibnya ayat yang ada dalam mushaf. Di antara mereka yang terkenal adalah Ibnu Jarir Ath-Thabary (w. 310 H).
           
Demikianlah, pertama kali tafsir dilakukan dengan metode dari mulut ke mulut dan periwayatan, lalu melalui proses kodifikasi, tapi masih masuk dalam bab-bab hadts. Lalu pada tahap berikutnya dikodifikasikan secara mandiri. Kemudian muncul tafsir bil ma’tsur (yang menggunakan dalil-dalil dari Al-Qur’an, hadits Nabi, serta perkataan para sahabat dan salaf ash-shalih) dan tafsir bir ra’yi (yang menggunakan akal atau pendapat pribadi).
           
Dalam bidang ilmu tafsir muncul karya-karya tematik (موضوعي) yang berkaitan dengan tafsir Al-Qur’an yang cukup penting bagi seorang mufassir.
           
Ali bin Al-Madiny (w. 234 H), guru imam Al-Bukhary, menulis tentang asbab an-nuzul. Abu Ubaid Al-Qasim bin Sallam (w. 224 H) melahirkan karya tentang nasikh-mansuukh dan masalah qira’at.
           
Ibnu Qutaibah (w. 275 H) menulis masalah problema Al-Quran (Musykil Al-Qur’an). Mereka itu merupakan para ulama abad ketiga Hijriyyah.
           
Pada abad keempat Hijriyyah, juga tidak sedikit yang menulis tentang masalah terkait, seperti Muhammad bin Khalaf bin Al-Marzuban (w. 309 H), menulis sebuah kitab “Al-Hawy fi Uluum Al-Qur’an”, Abu Bakr Muhammad bin Al-Qasim Al-Ambary (w. 309 H) menulis “Uluum Al-Qur’an”, Abu Bakr As-Sjistany (w. 388 H) karyanya adalah “Gharib Al-Qur’an”, dan Muhammad bin Ali Al-Afudy (w. 388 H) menulis kitab “Al-Istighnaa’ fi Uluum Al-Qur’an”.
           
Kemudian banyak karya-karya ulama yang muncul melanjutkan pengkajian dalam disiplin Ulumul Qur’an. Abu Bakr Al-Baqillany (w. 403 H) menulis kitab “Al-I’jaaz fi Uluum Al-Qur’an”, Ali bin Ibrahim bin Said Al-Hufy (w. 430 H) memunculkan kitab “I’rab Al-Qur’an”, Al-Mawardy (w. 450 H) menulis tentang “Amtsal Al-Qur’an”, Izzuddin bin Abdissalam (w. 660 H) menulis “Fi Majaaz Al-Qur’an”, dan Alamuddin As-Sakhawy (w. 751 H) menulis “Ilm Al-Qiraa’aat”. Tak ketinggalan, Ibnul Qayyim (w. 751 H) melahirkan kitab “Aqsaam Al-Qur’an”. Inilah sejumlah karya ulama yang telah mengkaji ilmu-ilmu Al-Qur’an yang sangat terkait antara satu dengan lainnya.
           
Karya-karya ulama ini telah dirangkum dalam satu karya besar sebagaimana yang disinyalir oleh Az-Zarqany dalam kitabnya Manaahil Al-Irfaan fi Uluum Al-Qur’an, bahwa di dalam Dar Al-Kutub Al-Mishriyyah ada sebuah kitab karya Ali bin Ibrahim bin Said, terkenal dengan sebutan Al-Hufy. Nama kitab tersebut “Al-Burhan fi Uluum Al-Qur’an”, terdiri dari 30 jilid. Di dalamnya terdapat 15 jilid yang di mana di sana penulisnya menyebut ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan tertib mushaf yang mencakup pembahasan Ulumul Qur’an. Di satu sisi penulis memberikan tajuk yang berkait dengan masalah i’rab, pembahasan di dalamnya menyangkut tentang gramatika (nahwu) dan kebahasaan. Dalam masalah makna dan tafsir, ia menjelaskan dengan metode tafsir bil ma’tsur dan ma’qul. Kemudian, ia membahas masalah al-wqf dan at-tamaam, terkadang ia membahas masalah qira’at ini dalam topik tersendiri. Di sisi lain ia juga membicarakan tentang masalah hukum yang di-istimbath-kan dari ayat-ayat yang dijelaskannya.
Al-Burhan fi Uluum Al-Qur'an
karya Badruddin Az-Zarkasyy
           
Dengan metodologi semacam ini, Al-Hufy bisa dianggap sebagai orang pertama yang merumuskan kodifikasi ilmu-ilmu Al-Qur’an, walaupun kodifikasi ini termasuk dalam model yang khusus, sebagaimana telah disebutkan.
           
Al-Itqan fi Uluum Al-Qur'an
karya Jalaluddin As-Suyuthy
Lalu, Ibnul Jauzy (w. 597 H) mengikuti jejak Al-Hufy. Ia menulis kitab “Funuun Al-Afnaan fi Ajaa’ib Uluum Al-Qur’aan” Badruddin Az-Zarkasyy (w. 794 H) menulis “Al-Burhan fi Uluum Al-Qur’aanI”. Jalaluddin Al-Balqiny (w. 824 H) menulis “Mawaaqi’ Al-Uluum min Mawaaqi’ An-Nujuum”, menambahi sedikit kitab Az-Zarkasyy. Kemudian, Jalaluddin As-Suyuthy (w. 911 H) dengan kitabnya yang cukup terkenal yaitu “Al-Itqan fi Uluum Al-Qur’an”.
           
Dalam konteks modern, studi ilmu-ilmu Al-Qur’an tetap tidak kalah menarik dengan ilmu-ilmu lain. Orang-orang yang berkompeten dengan gerakan pemikiran Islam terus berupaya menemukan rumusan kajian-kajian Al-Qur’an yang relevan dengan perkembangan zaman, seperti kitab “I’jaaz Al-Qur’an” karya Mustafa Shadiq Ar-Rafi’i, juga “At-Tashwiir  Al-Fanny fi Al-Qur’aan”, karya Manna Al-Qaththaan, “Masyaahid Al-Qiyaamah fi Al-Qur’aan”, karya Sayyid Quthb, “Tarjamah Al-Qur’aan” karya Syaikh Muhammad Musthafa Al-Maraghy, termasuk pembahasan tentang buku tersebut oleh Muhibuddin Al-Khatib, “Mas’alatu Tarjamah Al-Qur’an” oleh Musthafa Shabry, “An-Naba’ Al-Azhiim” karya Dr. Muhammad Abdullah Darraz, dan buku pengantar tafsir “Mahaasin At-Ta’wiil” yang ditulis oleh Muhammad Jamaluddin Al-Qasimy.
           
Juga, Syaikh Thahir Al-Jazairy menulis satu buku “At-Tibyaan fi Uluum Al-Qur’aan”, Syaikh Muhammad Ali Salamah menerbitkan “Manhaj Al-Furqan di Uluum Al-Qur’aan”, Syaikh Muhammad Abdul Azhim Az-Zarqany sendiri menulis “Manaahil Al-Irfaan fi Uluum Al-Qur’aan”, kemudian Syaikh Ahmad Ahmad Ali memunculkan kitab “Mudzakkitah fi Uluum Al-Qur’aan”. Buku ini dijadikan buku pegangan di fakultas tenpat dia mengajar, pada jurusan Dakwah dan Bimbingan (Qism Ad-Da’wah wa Al-Irsyaad). Yang terakhir adalah karya Dr. Subhi Shalih “Mabaahits fi Uluum Al-Qur’aan”, dan “Abhaats Ala Maa’idah Al-Qur’aan” karya Ustadz Ahmad Muhammad Jamal.
           
Inilah beberapa kajian yang dikenal sebagai studi ilmu-ilmu Al-Qur’an. Sekarang, kita beralih kepada definisi singkat tentang ULUMUL QUR’AN.
           
‘Ulum artinya bentuk plural dari ‘ilm. ‘Ilm sendiri maknanya al-fahm wa al-idraak (pemahaman dan pengetahuan). Kemudian, pengertiannya dikembangkan kepada kajian berbagai masalah yang beragam dengan standar ilmiah.
           
Dan yang dimaksud dengan ULUMUL QUR’AN, yaitu suatu ilmu yang mencakup berbagai kajian yang berkaitan dengan kajian-kajian Al-Qur’an, seperti: pembahasan tentang asbaab an-nuzuul, pengumpulan Al-Qur’an dan penyusunannya, masalah Makkiyyah dan Madaniyyah, nasikh dan mansuukh, muhkaam dan mutasyaabihaat dan lain-lain.
           
Kadang-kadang Ulumul Qur’an ini juga disebut dengan Ushuul At-Tafsiir (dasar-dasar/prinsip-prinsip penafsiran), karena memuat berbagai pembahasan dasar atau pokok yang wajib dikuasai dalam menasirkan Al-Qur’an.


[1] Talqin di sini, maksudnya yaitu belajar Al-Qur’an langsung dari seorang syaikh yang mempunyai sanad bersambung kepada Nabi.
[2] Al-Qur’an pertama kali dikumpulkan adalah pada masa Abu Bakr pasca peperangan Yamamah.
[3] Muqaddimah Ibn Taimiyyah fi Ushuul At-Tafsiir, hal. 15





Sumber: Mabaahits fi Uluum Al-Qur'aan, Manna' Qaththaan
Penerjemah: Aunur Rafiq El-Mazni
dari buku Pengantar Studi Ilmu Al-Qur'an, Pustaka Al-Kautsar, cet. 7, Feb 2012
diketik ulang oleh Hasan Al-Jaizy

No comments:

Post a Comment