Al-Qur’an
adalah mukjizat Islam yang abadi dimana semakin maju ilmu pengetahuan, semakin
tampak validitas kemukjizatannya. Allah subhanahu wa ta’ala
menurunkannya kepada Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam, demi
membebaskan manusia dari berbagai kegelapan hidup menuju cahaya Ilahi, dan
membimbing mereka ke jalan yang lurus. Rasulullah menyampaikannya kepada para
sahabatnya –sebagai penduduk asli Arab- yang sudah tentu dapat memahami tabiat
mereka. Jika terdapat sesuatu yang kurang jelas bagi mereka tentang ayat-ayat
yang mereka terima, mereka langsung menanyakannya kepada Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam.
Al-Bukhary dan Muslim meriwayatkan dari Ibnu
Mas’ud radhiyallahu anh, bahwa ketika turun ayat,
{ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَلَمْ يَلْبِسُوٓا۟
إِيمَٰنَهُم بِظُلْمٍ أُو۟لَٰٓئِكَ لَهُمُ ٱلْأَمْنُ وَهُم مُّهْتَدُونَ}
“Orang-orang yang beriman dan tidak
mencampur adukkan iman mereka dengan kelaliman (syirik), mereka itulah
orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang
mendapat petunjuk.” (Q.S. Al-An’am: 82)
...orang-orang merasa keberatan dengan ayat
tersebut. Lalu mereka bertanya kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, mana ada
orang yang tidak menzalimi dirinya?” Beliau menjawab:
إنه ليس الذي تعنون،
ألم تسمعوا ما قال العبد الصالح
“Sesungguhnya pemahamannya tidak seperti yang kalian maksudkan,
tidakkah kalian mendengar apa yang dikatakan
seorang hamba saleh (kepada anaknya):
{إِنَّ
الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ}
“Sesungguhnya syirik itu adalah kezhaliman yang besar.” (Q.S. Luqman: 13)
Adalah Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam, memberi tafsiran kepada mereka tentang beberapa ayat. Imam Muslim
dan lainnya mengeluarkan hadits yang diriwayatkan dari Uqbah bin Amir, dia
berkata, “Saya pernah mendengar Rasulullah membaca di atas mimbar,
{وَأَعِدُّوا۟
لَهُم مَّا ٱسْتَطَعْتُم مِّن قُوَّةٍۢ}
“Dan
persiapkanlah segala jenis kekuatan yang dapat kamu sediakan untuk menghadapi
mereka...” (Q.S. Al-Anfal: 60)
Lalu, beliau
bersabda:
"ألا
إن القوة الرمي"
“Ketahuilah,
sesungguhnya kekuatan (al-quwwah) tersebut adalah memanah.” (H.R. Muslim, Ahmad, Abu Daud, At-Tirmidzy, Ibnu Majah dan Ad-Darimy)
Para sahabat
sangat bersemangat untuk mendapatkan pengajaran Al-Qur’an Al-Karim dari
Rasulullah. Mereka ingin menghafal dan memahaminya. Bagi mereka, ini merupakan
suatu kehormatan.
Diriwayatkan dari
Anas radhiyallahu anh, ia berkata, “Ada seorang laki-laki di antara kami
yang apabila membaca surat Al-Baqarah dan Ali Imran, ia begitu antusias.” (H.R.
Ahmad)
Seiring dengan
itu, mereka juga bersungguh-sungguh mengamalkannya dan menegakkan
hukum-hukumnya.
Abu Abdirrahman
As-Sulamy meriwayatkan, bahwa orang-orang yang biasa membacakan Al-Qur’an
kepada kami, seperti Utsman bin Affan dan Abdullah bin Mas’ud, serta yang
lainnya; apabila mereka belajar sepuluh ayat dari Nabi shallallahu alaihi wa
sallam, mereka enggan melewatinya sebelum memahami dan mengamalkannya.
Mereka mengatakan, “Kami mempelajari Al-Qur’an, ilmu dan amal sekaligus.” (H.R.
Abdur Razaq)
Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam tidak mengizinkan mereka menulis apa pun selain Al-Qur’an,
sebab ditakutkan dapat tercampur aduk dengan yang lain.
Muslim
meriwayatkan dari Abu Said Al-Khudry, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam bersabda,
"لا
تكتبوا عني, ومَن كتب عني غير القرآن فليمحه، وحدِّثوا عني ولا حَرَج، ومَن كَذَبَ
عليَّ متعمدًا فليتبوأ مقعده من النار"
‘Jangan
sekali-kali menulis apa pun dariku. Barangsiapa menulis sesuatu selain
Al-Qur’an dariku maka hapuslah. Sampaikanlah haditsku, tidak masalah. Namun,
barangsiapa mendustakan aku dengan sengaja, maka nerakalah tempatnya.”
Sumber foto: altahera-net |
Sekalipun Rasulullah pernah mengizinkan
sebagian sahabatnya setelah itu untuk menulis hadits, sesungguhnya hal-hal yang
berkaitan dengan Al-Qur’an masih tetap bersandar pada riwayat, yaitu melalui talqin.[1]
Demikianlah yang terjadi pada masa Rasul, masa Khalifah Abu Bakr, dan Umar radhiyallahu
anhuma.
Lalu, pada masa Khalifah Utsman[2]
radhiyallahu anh, sesuai dengan tuntutan kondisi membuat suatu terobosan
ijtihad mulia, yaitu demi menyatukan kaum muslimin dengan pedoman satu mushaf
yang kemudian diberi nama mushaf Al-Imam. Selanjutnya, mushaf tersebut dikirim
ke berbagai negeri saat itu. Adapun tulisan huruf-hurufnya disebut sebagai rasm
Utsmany, yang dikaitkan dengan nama Khalifah Utsman. Langkah ini adalah awal
munculnya ilmu penulisan rasm Al-Qur’an.
Kemudian, Khalifah Ali radhiyallahu anh
menyuruh Abul Aswad Ad-Du’aly untuk menggagas kaedah nahwu, demi menjaga adanya
kekeliruan dalam pengucapan dan untuk lebih memantapkan bagi pembacaan Al-Qur’an.
Hal ini dianggap sebagai cikal bakal dari munculnya ilmu i’rab Al-Qur’an.
Para sahabat pun meneruskan tradisi memahami
makna-makna Al-Qur’an dan tafsirnya sesuai dengan kondisi mereka masing-masing;
baik kemampuan yang berbeda dalam memahami maupun intensitas dalam kedekatannya
dengan Rasulullah. Selanjutnya, dalam kondisi demikianlah murid-murid para
sahabat dari kalangan tabi’in mengambil ilmu dari mereka.
Di antara para mufassir terpopular di
kalangan sahabat Nabi adalah: empat khalifah, Ibnu Mas’ud, Ibnu
Abbas, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Musa Al-Asy’ary
dan Abdullah bin Az-Zubair.
Cukup banyak riwayat-riwayat tentang tafsir
yang diriwayatkan dari beberapa sahabat semisal: Abdullah bin Abbas, Abdullah
bin Mas’ud, Ibay bin Ka’ab. Dan biasanya apa yang diriwayatkan dari mereka
tidaklah selalu mengandung tafsir Al-Qur’an secara utuh, tetapi masih berkisar
tentang makna-makna beberapa ayat, serta penjelasan ayat yang masih samar dan
global.
Adapun dari kalangan tabi’in, tidak sedikit
yang menimba ilmu dari sahabat, dan kemudian melakukan ijtihad dalam
menafsirkan ayat.
Di antara murid-murid Ibnu Abbas yang cukup
masyhur adalah Said bin Jubair, Mujahid, Ikrimah maula Ibnu Abbas, Thawus
bin Kisan Al-Yamany, dan Atha’ bin Abi Rabah.
Murid Ubay bin Ka’ab yang popular di Madinah
adalah Zaid bin Aslam, Abul Aliyah, dan Muhammad bin Ka’ab Al-Qurazhi.
Di Irak, terdapat beberapa murid Abdullah bin
Mas’ud yang juga terkenal sebagai mufassir. Mereka yaitu: Alqamah bin Qais,
Masruq bin Al-Ajda’, Aswad bin Yazid, Amir Asy-Sya’by, Hasan Al-Bashry, dan
Qatadah bin Di’amah As-Sadusy.
Menurut Ibnu Taimiyyah, ada beberapa orang
yang terkemuka dalam bidang tafsir ini di Makkah. Mereka adalah sahabat-sahabat
Ibnu Abbas seperti: Mujahid, Atha’ bin Abi Rabah, Ikrimah maula Ibnu Abbas,
Thawus bin Kisan, Abu Asy-Sya’tsa’, Said bin Jubair dan lain-lain. Demikian
juga di Kufah dari kalangan sahabat-sahabat Ibnu Mas’ud. Sedangkan ulama tafsir
di Madinah, yaitu: Zaid bin Aslam (guru Imam Malik_, Abdurrahman bin Zaid, dan
Abdullah bin Wahab.[3]
Adapun jenis ilmu yang diriwayatkan dari
mereka itu mencakup: ilmu tafsir, ilmu gharib Al-Qur’an, ilmu asbaab
an-nuzul, ilmu Makkiyyah-Madaniyyah dan ilmu naasikh-mansuukh.
Tetapi, semua ini diriwayatkan dengan cara talqin (belajar langsung dari
guru).
Masa Kodifikasi
Abad kedua adalah masa kodifikasi (التدوين). Mula-mula kodifikasi hadits dengan
metode penggunaan bab-bab yang kurang sistemarik. Semuanya mencakup segala yang
berkaitan dengan tafsir. Sebagian ulama menyatukan tafsir yang diriwayatkan
tanpa melihat apakah itu berasal dari Nabi, sahabat atau tabi’in.
Sumber foto: quran-m.net |
Tokoh-tokoh yang melakukan kodifikasi itu di
antaranya Yazid Harun As-Sulamy (w. 117 H), Syu’bah bin Al-Hajjaj
(w. 160 H), Waki’ bin Al-Jarrah (w. 197 H), Sufyan bin Uyainah
(w. 198 H) dan Abdul Razzaq bin Hammam (w. 211 H). Kesemua ulama itu
pada dasarnya termasuk ulama hadits. Hingga sekarang kita belum menemui
penjelasan-penjelasan tafsir mereka dalam berbagai kitab.
Pada masa selanjutnya, sekelompok ulama
melakukan penafsiran secara komprehensif terhadap Al-Qur’an sesuai tertibnya
ayat yang ada dalam mushaf. Di antara mereka yang terkenal adalah Ibnu Jarir
Ath-Thabary (w. 310 H).
Demikianlah, pertama kali tafsir dilakukan
dengan metode dari mulut ke mulut dan periwayatan, lalu melalui proses
kodifikasi, tapi masih masuk dalam bab-bab hadts. Lalu pada tahap berikutnya
dikodifikasikan secara mandiri. Kemudian muncul tafsir bil ma’tsur (yang
menggunakan dalil-dalil dari Al-Qur’an, hadits Nabi, serta perkataan para
sahabat dan salaf ash-shalih) dan tafsir bir ra’yi (yang menggunakan
akal atau pendapat pribadi).
Dalam bidang ilmu tafsir muncul karya-karya
tematik (موضوعي) yang berkaitan dengan
tafsir Al-Qur’an yang cukup penting bagi seorang mufassir.
Ali bin Al-Madiny (w. 234 H),
guru imam Al-Bukhary, menulis tentang asbab an-nuzul. Abu Ubaid Al-Qasim
bin Sallam (w. 224 H) melahirkan karya tentang nasikh-mansuukh dan
masalah qira’at.
Ibnu Qutaibah (w. 275 H)
menulis masalah problema Al-Quran (Musykil Al-Qur’an). Mereka itu
merupakan para ulama abad ketiga Hijriyyah.
Pada abad keempat Hijriyyah, juga tidak sedikit
yang menulis tentang masalah terkait, seperti Muhammad bin Khalaf bin
Al-Marzuban (w. 309 H), menulis sebuah kitab “Al-Hawy fi Uluum Al-Qur’an”,
Abu Bakr Muhammad bin Al-Qasim Al-Ambary (w. 309 H) menulis “Uluum
Al-Qur’an”, Abu Bakr As-Sjistany (w. 388 H) karyanya adalah “Gharib
Al-Qur’an”, dan Muhammad bin Ali Al-Afudy (w. 388 H) menulis kitab “Al-Istighnaa’
fi Uluum Al-Qur’an”.
Kemudian banyak karya-karya ulama yang muncul
melanjutkan pengkajian dalam disiplin Ulumul Qur’an. Abu Bakr Al-Baqillany (w.
403 H) menulis kitab “Al-I’jaaz fi Uluum Al-Qur’an”, Ali bin Ibrahim
bin Said Al-Hufy (w. 430 H) memunculkan kitab “I’rab Al-Qur’an”, Al-Mawardy
(w. 450 H) menulis tentang “Amtsal Al-Qur’an”, Izzuddin bin
Abdissalam (w. 660 H) menulis “Fi Majaaz Al-Qur’an”, dan Alamuddin
As-Sakhawy (w. 751 H) menulis “Ilm Al-Qiraa’aat”. Tak ketinggalan, Ibnul
Qayyim (w. 751 H) melahirkan kitab “Aqsaam Al-Qur’an”. Inilah
sejumlah karya ulama yang telah mengkaji ilmu-ilmu Al-Qur’an yang sangat
terkait antara satu dengan lainnya.
Karya-karya ulama ini telah dirangkum dalam
satu karya besar sebagaimana yang disinyalir oleh Az-Zarqany dalam kitabnya Manaahil
Al-Irfaan fi Uluum Al-Qur’an, bahwa di dalam Dar Al-Kutub Al-Mishriyyah ada
sebuah kitab karya Ali bin Ibrahim bin Said, terkenal dengan sebutan Al-Hufy.
Nama kitab tersebut “Al-Burhan fi Uluum Al-Qur’an”, terdiri dari 30
jilid. Di dalamnya terdapat 15 jilid yang di mana di sana penulisnya menyebut
ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan tertib mushaf yang mencakup pembahasan Ulumul
Qur’an. Di satu sisi penulis memberikan tajuk yang berkait dengan masalah i’rab,
pembahasan di dalamnya menyangkut tentang gramatika (nahwu) dan kebahasaan.
Dalam masalah makna dan tafsir, ia menjelaskan dengan metode tafsir bil ma’tsur
dan ma’qul. Kemudian, ia membahas masalah al-wqf dan at-tamaam,
terkadang ia membahas masalah qira’at ini dalam topik tersendiri. Di
sisi lain ia juga membicarakan tentang masalah hukum yang di-istimbath-kan
dari ayat-ayat yang dijelaskannya.
Al-Burhan fi Uluum Al-Qur'an karya Badruddin Az-Zarkasyy |
Dengan metodologi semacam ini, Al-Hufy bisa
dianggap sebagai orang pertama yang merumuskan kodifikasi ilmu-ilmu Al-Qur’an,
walaupun kodifikasi ini termasuk dalam model yang khusus, sebagaimana telah
disebutkan.
Al-Itqan fi Uluum Al-Qur'an karya Jalaluddin As-Suyuthy |
Lalu, Ibnul Jauzy (w. 597 H) mengikuti
jejak Al-Hufy. Ia menulis kitab “Funuun Al-Afnaan fi Ajaa’ib Uluum Al-Qur’aan”
Badruddin Az-Zarkasyy (w. 794 H) menulis “Al-Burhan fi Uluum
Al-Qur’aanI”. Jalaluddin Al-Balqiny (w. 824 H) menulis “Mawaaqi’
Al-Uluum min Mawaaqi’ An-Nujuum”, menambahi sedikit kitab Az-Zarkasyy.
Kemudian, Jalaluddin As-Suyuthy (w. 911 H) dengan kitabnya yang
cukup terkenal yaitu “Al-Itqan fi Uluum Al-Qur’an”.
Dalam konteks modern, studi ilmu-ilmu Al-Qur’an
tetap tidak kalah menarik dengan ilmu-ilmu lain. Orang-orang yang berkompeten
dengan gerakan pemikiran Islam terus berupaya menemukan rumusan kajian-kajian
Al-Qur’an yang relevan dengan perkembangan zaman, seperti kitab “I’jaaz
Al-Qur’an” karya Mustafa Shadiq Ar-Rafi’i, juga “At-Tashwiir Al-Fanny fi Al-Qur’aan”, karya Manna
Al-Qaththaan, “Masyaahid Al-Qiyaamah fi Al-Qur’aan”, karya Sayyid
Quthb, “Tarjamah Al-Qur’aan” karya Syaikh Muhammad Musthafa Al-Maraghy,
termasuk pembahasan tentang buku tersebut oleh Muhibuddin Al-Khatib, “Mas’alatu
Tarjamah Al-Qur’an” oleh Musthafa Shabry, “An-Naba’ Al-Azhiim” karya
Dr. Muhammad Abdullah Darraz, dan buku pengantar tafsir “Mahaasin At-Ta’wiil”
yang ditulis oleh Muhammad Jamaluddin Al-Qasimy.
Juga, Syaikh Thahir Al-Jazairy menulis satu
buku “At-Tibyaan fi Uluum Al-Qur’aan”, Syaikh Muhammad Ali Salamah
menerbitkan “Manhaj Al-Furqan di Uluum Al-Qur’aan”, Syaikh Muhammad
Abdul Azhim Az-Zarqany sendiri menulis “Manaahil Al-Irfaan fi Uluum Al-Qur’aan”,
kemudian Syaikh Ahmad Ahmad Ali memunculkan kitab “Mudzakkitah fi Uluum
Al-Qur’aan”. Buku ini dijadikan buku pegangan di fakultas tenpat dia
mengajar, pada jurusan Dakwah dan Bimbingan (Qism Ad-Da’wah wa Al-Irsyaad).
Yang terakhir adalah karya Dr. Subhi Shalih “Mabaahits fi Uluum Al-Qur’aan”,
dan “Abhaats Ala Maa’idah Al-Qur’aan” karya Ustadz Ahmad Muhammad Jamal.
Inilah beberapa kajian yang dikenal sebagai
studi ilmu-ilmu Al-Qur’an. Sekarang, kita beralih kepada definisi singkat
tentang ULUMUL QUR’AN.
‘Ulum artinya bentuk plural dari ‘ilm. ‘Ilm
sendiri maknanya al-fahm wa al-idraak (pemahaman dan pengetahuan).
Kemudian, pengertiannya dikembangkan kepada kajian berbagai masalah yang
beragam dengan standar ilmiah.
Dan yang dimaksud dengan ULUMUL QUR’AN, yaitu
suatu ilmu yang mencakup berbagai kajian yang berkaitan dengan
kajian-kajian Al-Qur’an, seperti: pembahasan tentang asbaab
an-nuzuul, pengumpulan Al-Qur’an dan penyusunannya, masalah Makkiyyah dan
Madaniyyah, nasikh dan mansuukh, muhkaam dan mutasyaabihaat
dan lain-lain.
Kadang-kadang Ulumul Qur’an ini juga disebut
dengan Ushuul At-Tafsiir (dasar-dasar/prinsip-prinsip
penafsiran), karena memuat berbagai pembahasan dasar atau pokok yang wajib
dikuasai dalam menasirkan Al-Qur’an.
[1] Talqin
di sini, maksudnya yaitu belajar Al-Qur’an langsung dari seorang syaikh yang
mempunyai sanad bersambung kepada Nabi.
[2] Al-Qur’an
pertama kali dikumpulkan adalah pada masa Abu Bakr pasca peperangan Yamamah.
[3] Muqaddimah
Ibn Taimiyyah fi Ushuul At-Tafsiir, hal. 15
Sumber: Mabaahits fi Uluum Al-Qur'aan, Manna' Qaththaan
Penerjemah: Aunur Rafiq El-Mazni
dari buku Pengantar Studi Ilmu Al-Qur'an, Pustaka Al-Kautsar, cet. 7, Feb 2012
diketik ulang oleh Hasan Al-Jaizy
No comments:
Post a Comment