Wednesday, February 27, 2013

Dosa Merupakan Bentuk Penelantaran



Dosa merupakan salah satu bentuk penelantaran atau pengabaian Allah terhadap hamba-Nya. Seandainya Allah tidak membersihkan seorang hamba dari keburukan yang membuatnya berdosa, tentu hamba itu tak mungkin bias membersihkan dirinya sendiri. Oleh sebab itulah, setiap hamba sangat butuh untuk bersimpuh dan memohon kepada-Nya agar diselamatkan dari segala hal yang mengantarkannya kepada dosa. Dan apabila hamba itu sudah melakukan dosa –atas takdir Allah- maka dia pun sangat butuh untuk bersimpuh dan berdoa agar Allah menghindarkannya dari segala akibat dan hukumannya.

Dari sini, dapat disimpulkan bahwa ada 3 hal pokok yang sangat dibutuhkan oleh seorang hamba; bahkan ia tidak akan beruntung kecuali dengan melakukan ketiganya, yaitu: (1) Bersyukur, (2) Memohon Kesejahteraan, (3) Bertaubat dengan sebenar-benarnya.

Setelah merenungi lebih jauh, ternyata masalah penelantaran Allah terhadap hamba-Nya tidak terlepas dari sikap penuh harap akan keridhaan-Nya dan khawatir akan adzab-Nya. Kedua sikap tersebut tidak berada di tangan hamba, tetapi berada di tangan Allah Yang Membolak-balikkan hati dan Yang mengubahnya sebagaimana dikehendaki-Nya.

Jika Allah memberi taufik kepada hamba itu, niscaya ia akan mampu menghadapkan diri kepada-Nya dengan sepenuh hati, dan hatinya akan dipenuhi perasaan harap dan khawatir tersebut. Sebaliknya, jika Allah ingin menelantarkan hamba tersebut niscaya ia dibiarkan berada dalam keburukannya. Akibatnya, ia tidak mau menghadapkan hatinya kepada Allah dan tidak akan memohon kepada-Nya untuk memberinya taufik.

Sungguh, apa-apa yang dikehendaki Allah pasti terjadi dan apa-apa yang tidak dikehentaki-Nya pasti tidak akan pernah terjadi.







Sumber: Fawaaid Al-Fawaaid, Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah
Diketik ulang dari Fawaidul Fawaid cetakan Pustaka Imam Syafi'i

Nikmat Allah Tiada Terhingga


Setelah merenungi kehidupan di dunia ini, saya berkesimpulan bahwa ada hal penting yang harus kita yakini; yaitu semua nikmat –baik berupa ketaatan maupun kenikmatan duniawi- berasal dari Allah semata. Oleh sebab itu, hendaklah Anda selalu memohon agar Allah menganugerahkan kekuatan untuk senantiasa mengingat dan mensyukuri nikmat-nikmat tersebut.

Allah Ta’ala berfirman:

{ وَمَا بِكُم مِّن نِّعْمَةٍۢ فَمِنَ ٱللَّهِ ۖ ثُمَّ إِذَا مَسَّكُمُ ٱلضُّرُّ فَإِلَيْهِ تَجْـَٔرُونَ}
“Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya), dan bila kamu ditimpa oleh kemudaratan, maka hanya kepada-Nya-lah kamu meminta pertolongan.” (Q.S. An-Nahl: 53)

Allah Ta’ala  juga berfirman:

{ فَٱذْكُرُوٓا۟ ءَالَآءَ ٱللَّهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ}

“Maka ingatlah nikmat-nikmat Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” (Q.S. Al-A’raaf: 69)

Dan Dia berfirman:

{ وَٱشْكُرُوا۟ نِعْمَتَ ٱللَّهِ إِن كُنتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ}
“dan syukurilah nikmat Allah jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah.” (Q.S. An-Nahl: 114)

Mengingat semua nikmat itu berasal dari Allah dan hanya karena karunia-Nya, maka untuk bias mengingat dan mensyukurinya kita butuh taufik-Nya.




Sumber: Fawaaid Al-Fawaaid, Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah
Diketik ulang dari Fawaidul Fawaid cetakan Pustaka Imam Syafi'i

Bagaimana Mungkin Ada Penyatuan Antara Keyakinan Kepada Hari Kebangkitan dan Meninggalkan Amal?



Boleh jadi engkau bertanya, “Bagaimana mungkin ada penyatuan antara pembenaran yang tiada keraguan sedikitpun tentang hari berbangkit, surga dan neraka, namun tidak mau beramal? Apakah termasuk dalam tabiat manusia, dia mengetahui bahwa kelak dia akan dituntut di hadapan Allah untuk dihukum dengan hukuman yang pedih atau dimuliakan dengan kemuliaan yang sempurna, lalu saat itu dia lupa dan lalai, tidak ingat sedikit pun apa yang pernah diperbuatnya dan dia tidak akan diberi pembalasan sebagaimana mestinya?”

Dapat dijawab sebagai berikut:

Demi Allah, ini merupakan pertanyaan yang amat bagus, yang juga sering dilontarkan manusia. Menyatukan dua hal ini merupakan sesuatu yang aneh. Adapun keengganan untuk beramal memiliki beberapa sebab, di antaranya adalah pengetahuan yang lemah dan keyakinan yang minim. Siapa yang beranggapan bahwa ilmu itu tidak berbeda-beda, maka itu merupakan perkataan yang jelas batil.

Ibrahim alaihissalam pernah memohon agar Allah memperlihatkan bagaimana Dia menghidupkan orang yang sudah mati, sehingga beliau dapat melihat dengan mata telanjang, setelah beliau mengetahui kekuasaan Allah tentang hal itu, agar hatinya semakin tenang dan mantap, sehingga data yang tadinya berupa sesuatu yang gaib berubah menjadi sesuatu yang nyata.

Ahmad meriwayatkan di dalam Musnad­-nya, dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, beliau bersabda:

{ لَيْسَ الْخَبَرُ كَالْمُعَايَنَةِ}
“Berita itu tidak seperti yang dilihat”
 

Tertipu Oleh Dunia



Mayoritas manusia tertipu oleh dunia dan kehidupan yang ada, lalu mereka lebih mementingkannya daripada kehidupan akhirat dan lebih ridha kepadanya daripada akhirat. Sampai-sampai di antara mereka ada yang berkata:

الدُّنْيَا نَقْدٌ ، وَالْآخِرَةُ نَسِيئَةٌ ، وَالنَّقْدُ أَحْسَنُ مِنَ النَّسِيئَةِ

“Dunia ini sama dengan pembayaran secara tunai dan akhirat sama dengan pembayaran secara kredit. Tentu saja yang tunai lebih baik daripada yang kredit.”

Ada pula yang berkata:

ذَرَّةٌ مَنْقُودَةٌ ، وَلَا دُرَّةٌ مَوْعُودَةٌ

“Dunia ini adalah sebiji atom yang dibayarkan secara kontan dan bukan sebiji mutiara yang masih dijanjikan.”

Ada pula yang berkata:

لَذَّاتُ الدُّنْيَا مُتَيَقَّنَةٌ ، وَلَذَّاتُ الْآخِرَةِ مَشْكُوكٌ فِيهَا ، وَلَا أَدَعُ الْيَقِينَ بِالشَّكِّ

“Kesenangan dunia ini meyakinkan sedangkan kesenangan akhirat masih meragukan. Aku tidak akan meninggalkan yang meyakinkan dengan sesuatu yang meragukan.”

Tentu saja ini merupakan pemutarbalikan yang dilakukan syetan dan bisikannya. Binatang yang paling bodoh pun lebih menalar daripada orang-orang yang berkata seperti itu. Sebab jika binatang merasa takut kepada sesuatu, ia tidak mau beranjak mendekatinya meskipun ia dilecut dan dipukuli. Sementara di antara orang-orang itu justru memilih kebinasaan bagi dirinya. Jadi dia menempatkan dirinya di antara orang-orang yang membenarkan dan mendustakan.

Tuesday, February 26, 2013

Hanya Untuk Orang Mukmin


Apabilah Allah Ta’ala menahan satu kenikmatan dunia dari hamba-Nya yang beriman, niscaya Dia menggantinya dengan nikmat yang lebih baik dan bermanfaat baginya.

Penggantian berupa kenikmatan yang lebih baik itu hanya dikaruniakan kepada orang Mukmin. Ia sama sekali tidak diberikan kepada selain mereka. Allah Ta’ala sengaja tidak memberikan bagian yang rendah dan hina kepada orang Mukmin –bahkan Dia tidak meridhai hal itu- agar Dia dapat memberinya bagian yang jauh lebih baik lagi mulia.

Hanya saja, ketidaktahuan hamba terhadap kemaslahatan dirinya dan kemurahan Rabbnya, serta hikmah dan kelembutan-Nya, yang membuatnya tidak dapat membedakan antara penlakan dan penundaan dari Allah. Karenanya, ia sangat berharap mendapatkan segala keinginannya di dunia sekalipun itu hina, dan tidak mengharapkan penundaannya hingga akhirat meskipun itu lebih mulia baginya. Seandainya seorang hamba benar-benar mengenal Rabbnya –meskipun hal itu sangat sukar- niscaya ia akan menyadari bahwa karunia Allah berupa ditahannya kesenangan duniawi dari dirinya adalah lebih besar nilainya daripada segala yang pernah diberikan-Nya kepadanya semasa di dunia.

Allah Ta’ala  tidak menolak sesuatu yang diminta hamba-Nya, melainkan karen Dia ingin memberikan yang lebih baik kepada hamba itu. Allah Ta’ala tidak memberikan hamba-Nya cobaan melainkan untuk mensejahterakannya, tidak mengujinya melainkan untuk mensucikannya, tidak mematikannya melainkan untuk menghidupkannya kembali, dan tidak melahirkannya ke dunia ini melainkan agar ia dapat berbekal untuk menemui-Nya dan meniti jalan yang akan mengantarkan kepada-Nya.

Demikianlah. Allah menjadikan malam dan siang silih berganti bagi orang yang ingin mengambil pelajaran tau orang yang ingin bersyukur. Namun, orang-orang yang zalim tetap memilih kekufuran. Dan hanya kepada Allah saja kita memohon pertolongan.






Sumber: Fawaaid Al-Fawaaid, Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah

Diambil dari kitab Fawaidul Fawaid, cetakan Pustaka Imam Syafi'i

Jangan Direpotkan Oleh Rizki Dan Ajal


Pusatkanlah pikiran Anda untuk bisa mengerjakan segala yang diperintahkan kepada Anda. Jangan sibukkan ia dengan urusan rizki dan ajal; karena rizki dan ajal adalah dua hal yang sudah pasti akan menyertai hidup Anda. Selama Anda masih hidup, rizki pasti datang menyapa. Apabila Allah, dengan hikmah-Nya, menutup satu pintu rizki niscaya Dia akan membukakan bagi Anda, dengan rahmat-Nya, pintu rizki lain yang lebih bermanfaat dari pintu sebelumnya.

Renungkanlah bagaimana janin memperoleh makanan –berupa darah- hanya dari satu jalan, yaitu melalui tali pusarnya. Setelah, janin itu keluar dari perut ibunya dan perantara makanan tadi telah diputus, dibukalah bagi janin ini dua jalan untuk mendapatkan rizki yang lebih baik dan lebih lezat; yaitu air susu murni yang mudah ditelan.

Sesudah sempurna masa penyusuan dan kedua jalan tersebut diputus telah sampai masa penyapihan, Allah pun membuka empat jalan lain yang lebih sempurna, yaitu dua makanan dan dua minuman. Dua makanan yang dimaksud adalah hewan dan tumbuhan, sedangkan dua minuman itu berupa air dan susu; serta berbagai nutrisi tubuh lainnya yang bermanfaat dan lezat.

Apabila manusia meninggal dunia, maka terputuslah keempat perantara rizki di atas baginya. Akan tetapi, jika ia termasuk golongan yang berbahagia maka Allah akan membukakan baginya delapan jalan lagi, yaitu pintu-pintu Surha yang berjumlah delapan. Hamba tersebut kelak dapat memasuki Surga itu dari pintu mana saja yang dikehendakinya.

Demikianlah. Apabilah Allah Ta’ala menahan satu kenikmatan dunia dari hamba-Nya yang beriman, niscaya Dia menggantinya dengan nikmat yang lebih baik dan bermanfaat baginya.




Sumber: Fawaaid Al-Fawaaid, Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah

Diambil dari kitab Fawaidul Fawaid, cetakan Pustaka Imam Syafi'i

Sunday, February 24, 2013

Pepohonan Di Taman Hati




Tahun itu ibarat pohon, bulan ibarat dahan-dahannya, hari ibarat ranting-rantingnya, jam ibarat dedaunannya, dan hembusan nafas ibarat buahnya. Maka, siapapun yang nafasnya dimanfaatkan untuk ketaatan, niscaya buah yang dihasilkan pohon itu akan menjadi baik. Sedangkan siapa saja yang napasnya digunakan untuk kemaksiatan, niscaya buahnya akan terasa pahit. Masa panen buah yang sebenarnya akan dilakukan di akhirat. Pada saat itulah baru diketahui manis atau pahitnya buah dari pohon tersebut.

Ikhlas dan tauhid ibarat sebatang pohon yang tumbuh di taman hati. Dahan-dahannya adalah amal perbuatan, dan buahnya adalah kehidupan yang baik di dunia dan kenikmatan abadi di akhirat. Seperti halnya buah Surga yang tidak ada habis-habisnya dan tida ada larangan untuk memetiknya, maka buah tauhid dan keikhlasan di dunia pun demikian adanya.

Kemusyrikan, kebohongan, dan riya juga laksana sebatang pohon yang tumbuh di dalam hati. Buahnya di dunia adalah rasa takut, cemas, sedih, kesempitan dada dan kegelapan hati. Sedangkan buahnya di akhirat adalah buah az-zaqqum (pohon di Neraka) dan adzab yang abadi.

Allah Ta’ala telah menyebutkan ilustrasi kedua jenis pohon ini di dalam Al-Qur’an, yaitu pada surat Ibrahim:

{ أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ ٱللَّهُ مَثَلًۭا كَلِمَةًۭ طَيِّبَةًۭ كَشَجَرَةٍۢ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌۭ وَفَرْعُهَا فِى ٱلسَّمَآءِ (24) تُؤْتِىٓ أُكُلَهَا كُلَّ حِينٍۭ بِإِذْنِ رَبِّهَا ۗ وَيَضْرِبُ ٱللَّهُ ٱلْأَمْثَالَ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ (25) وَمَثَلُ كَلِمَةٍ خَبِيثَةٍۢ كَشَجَرَةٍ خَبِيثَةٍ ٱجْتُثَّتْ مِن فَوْقِ ٱلْأَرْضِ مَا لَهَا مِن قَرَارٍۢ (26)}

“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit, pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Rabbnya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat. Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi; tidak dapat tetap (tegak) sedikit pun.” (Q.S. Ibrahim 24-26)



Sumber: Fawaaid Al-Fawaaid, Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah

Diketik ulang dari Fawaidul Fawaid cetakan Pustaka Imam Syafi'i

05 Keutamaan Shalat Berjama’ah di Masjid



Dari Abu Hurairah radhiyallahu anh, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

«صَلاةُ الجَمِيعِ تَزِيدُ عَلَى صَلاتِهِ فِي بَيْتِهِ وَصَلاتِهِ فِي سُوقِهِ خَمْساً وَعِشْرِينَ دَرَجَةً، فَإنَّ أَحَدَكُمْ إذَا تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ وَأَتَى المَسْجِدَ لا يُرِيدُ إلَّا الصَّلاةَ لَمْ يَخْطُ خُطْوَةً إلَّا رَفَعَهُ الله بِهَا دَرَجَةً، وَحَطَّ عَنْهُ خَطِيئَةً حَتَّى يَدْخُلَ المَسْجِدَ، وَإذَا دَخَلَ المَسْجِدَ كَانَ فِي صَلاةٍ مَا كَانَتْ تَحْبِسُهُ، وَتُصَلِّي عَلَيْهِ الملائِكَةُ مَا دَامَ فِي مَجْلِسِهِ الَّذِي يُصَلِّي فِيْهِ: اللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ اللَّهُمَّ ارْحَمْهُ مَا لَمْ يُحْدِثْ فِيهِ»

“Shalat jama’ah melebihi shalat sendirian di rumahnya dan di pasar dengan dua puluh lima derajat. Sesungguhnya salah seorang dari kalian berwudhu dan menyempurnakan wudhunya kemudian mendatangi masjid tidak punya niatan lain kecuali untuk shalat, tidaklah ia melangkah dengan satu langkah kecuali Allah akan mengangkat derajatnya dan menghapus darinya satu kesalahan sehingga ia memasuki masjid. Apabila ia masuk masjid maka ia dianggap dalam shalat selama shalat itulah yang menahannya di masjid, dan malaikat akan berdoa kepadanya selama dia masih di tempat shalatnya, “Ya Allah ampunilah dia, Ya Allah sayangilah dia.” Selama dia belum berhadats.” (H.R. Bukhary, no. 477 dan Muslim, no. 649)

Dari Ibnu Umar radhiyallahu anhuma, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

«صَلاةُ الجَمَاعَةِ تَفْضُلُ صَلاةَ الفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً»

“Shalat berjama’ah lebih utama dari shalat sendirian dengan dua puluh tujuh derajat.” (H.R. Bukhary, no. 645, dan Muslim, no. 650)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu anh, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

«مَنْ غَدَا إلَى المَسْجِدِ وَرَاحَ أَعَدَّ الله لَهُ نُزُلَهُ مِنَ الجَنَّةِ كُلَّمَا غَدَا أَوْ رَاحَ»

“Barangsiapa yang pergi (pagi-sore) ke masjid, niscaya Allah mempersiapkan tempatnya di surga tiap kali ia pergi.” (H.R. Bukhary, no. 662, dan Muslim, no. 669)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu anh, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

«إذَا ثُوِّبَ لِلصَّلاةِ فَلا تَأْتُوهَا وَأَنْتُمْ تَسْعَونَ، وَأْتُوهَا وَعَلَيْكُمُ السَّكِيْنَةَ، فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوا، وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوا، فَإنَّ أَحَدَكُمْ إذَا كَانَ يَعْمِدُ إلَى الصَّلاةِ فَهُوَ فِي صَلاةٍ»

“Jika shalat sudah didirikan janganlah kalian berlari, datanglah dengan tenang. Apa yang kau dapati maka shalatlah, dan apa yang tertinggal maka sempurnakanlah. Sesungguhnya kalian jika hendak menuju shalat maka sebenarnya (dia dianggap) sudah dalam shalat.” (H.R. Bukhary, no. 636, dan Muslim, no. 602)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu anh, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

«إذَا قَالَ أَحَدُكُمْ آمِينَ، وَقَالَتِ الملائِكَةُ فِي السَّمَاءِ: آمينَ، فَوَافَقَتْ إحْدَاهُمَا الأُخْرَى، غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ»

“Jika kalian mengucapkan ‘Amin’ dan malaikat di langit mengucapkan ‘Amin’ sehingga ucapan antara satu dengan lainnya saling bersamaan, maka dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (H.R. Bukhary, no. 781, dan Muslim, no. 410)





Sumber: مختصر الفقه الإسلامي في ضوء القرآن والسنة, karya Muhammad bin Ibrahim At-Tuwaijiry
Diketik ulang oleh Hasan Al-Jaizy




Saturday, February 23, 2013

Persepsi Hamba Bukanlah Tolak Ukur



Allah berfirman:

{كُتِبَ عَلَيْكُمُ ٱلْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌۭ لَّكُمْ ۖ وَعَسَىٰٓ أَن تَكْرَهُوا۟ شَيْـًۭٔا وَهُوَ خَيْرٌۭ لَّكُمْ ۖ وَعَسَىٰٓ أَن تُحِبُّوا۟ شَيْـًۭٔا وَهُوَ شَرٌّۭ لَّكُمْ ۗ وَٱللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ}

“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (Q.S. Al-Baqarah: 216)

Ayat ini berbicara tentang jihad yang merupakan puncak dorongan amarah (karena Allah). Pada umumya, seorang hamba tidak suka menghadapi jihad fisik karena ia takut dirinya akan dicelakai oleh musuhnya. Padahal, jihad yang tidak disukainya itu adalah lebih baik bagi dirinya di dunia dan akhirat. Sebaliknya, ia lebih menyukai berdamai dengan musuh dan tidak berjihad melawan mereka. Padahal, yang demikian itu buruk bagi dirinya di dunia maupun di akhirat.

Demikian pula, terkadang seorang suami tidak suka kepada istrinya karena salah satu sifatnya sehingga ia pun memutuskan untuk menceraikannya. Padahal, mempertahankan rumah tangganya bersama istrinya adalah jauh lebih baik bagi dirinya, hanya saja ia tidak mengetahui hakikat ini. Terkadang pula, seorang suami suka kepada istrinya karena salah satu sifatnya sehingga ia pun memutuskan untuk tetap berumah tangga dengannya. Padahal, jika ia tetap bertahan dengan istrinya itu, maka keburukan yang menyertainya justru lebih banyak, hanya saja ia tidak mengetahui hakikat tersebut.

002 TAFSIR AL-BAQARAH: Ayat 4



4 - {وَٱلَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِمَآ أُنزِلَ إِلَيْكَ وَمَآ أُنزِلَ مِن قَبْلِكَ وَبِٱلْءَاخِرَةِ هُمْ يُوقِنُونَ}

3 -“dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al Qur'an) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat.”

Kosakata

[يُؤْمِنُونَ] : Mereka beriman

[أُنْزِلَ] : Diturunkan.

[قَبْلِكَ] : Qabl bermakna ‘sebelum’. Dan dhomir setelahnya bermakna ‘kamu’.

[الْآخِرَةِ] : Hari Akhir

[يُوقِنُونَ] : Mereka meyakini.



TAFSIR (Tafsir As-Sa’dy):


Kemudian Allah berfirman, {وَالَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ} “Dan mereka yang beriman kepada apa yang telah diturunkan kepadamu” yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah. Allah berfirman:

{وَأَنزَلَ ٱللَّهُ عَلَيْكَ ٱلْكِتَٰبَ وَٱلْحِكْمَةَ }

“Dan (juga karena) Allah telah menurunkan Kitab  (Al-Qur’an) dan hikmah (As-Sunnah) kepadamu,” (Q.S. An-Nisa: 113)

Maka orang-orang yang bertakwa itu beriman kepada seluruh perkara yang datang dari Rasul, dan mereka tidak membeda-bedakan antara sebagian dengan lainnya dari apa yang diturunkan kepadanya, di mana dia beriman dengan sebagiannya, dan tidak beriman dengan sebagiannya, baik dengan cara mengingkarinya atau dengan mentakwilkannya dari maksud yang dikehendaki oleh Allah dan Rasul-Nya sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang yang melakukan bid’ah yang mentakwilkan nash-nash yang bertentangan dengan pendapat mereka, yang pada implikasinya tidak mempercayai makna-maknanya walaupun mereka mempercayai kata-katanya, sehingga (hakikatnya) mereka tidak beriman kepadanya secara hakiki.

Dan firman-Nya, {وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ } “Dan apa yang telah diturunkan sebelummua,” meliputi keimanan kepada seluruh kitab-kitab terdahulu, dan keimanan kepada kitab-kitab mencakup keimanan kepada Rasul-rasul dan kepada hal-hal yang meliputinya, khususnya Taurat, Injil, dan Zabur. Dan ini adalah keistimewaan kaum Mukminin yang beriman kepada kitab-kitab langit seluruhnya, dan kepada seluruh Rasul-rasul, dan mereka tidak membeda-bedakan salah satu di antara mereka.

002 TAFSIR AL-BAQARAH: Ayat 3



 3 - {ٱلَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِٱلْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ ٱلصَّلَوٰةَ وَمِمَّا رَزَقْنَٰهُمْ يُنفِقُونَ }

3 -“(yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka,”



Kosakata

[يُؤْمِنُونَ] : Mereka beriman

[ٱلْغَيْبِ] : Hal/sesuatu yang gaib, yaitu yang sejatinya tak dijangkau oleh panca indera. Dalam hal ini, termaksudkan di antaranya adalah Rabb secara Dzat-Nya, sifat-sifat-Nya, para malaikat, dan lainnya.

[الصلاة] : Shalat, dengan menjaganya tepat pada waktunya, juga syarat-syarat sahnya, rukun-rukunnya, sunnah-sunnahnya dan hal-hal yang terkait dengannya.

[يُنْفِقُونَ] : Mereka berinfak/menafkahkan.



TAFSIR (Tafsir As-Sa’dy):


{الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ} “Yaitu mereka yang beriman kepada yang gaib”. Hakikat keimanan adalah pembenaran yang total terhadap apa pun yang dikabarkan oleh para Rasul, yang meliputi ketundukan anggota tubuh. Perkara keimanan itu tidak hanya kepada hal-hal yang dapat diperoleh oleh panca indera semata, karena hal ini tidaklah mampu membedakan antara seorang Muslim dengan seorang kafir, namun perkara yang dianggap dalam keimanan kepada yang gaib adalah yang tidak kita lihat dan tidak kita saksikan, namun kita hanya mengimaninya saja karena ada kabar dari Allah dan kabar dari Rasul-Nya.

Inilah keimanan yang mampu membedakan antara seorang Muslim dengan seorang kafir, karena itulah pembenaran yang utuh terhadap Allah dan Rasul-Nya. Maka seorang yang beriman adalah yang mengimani segala sesuatu yang dikabarkan oleh Allah atau yang dikabarkan oleh Rasul-Nya, baik yang dia saksikan ataupun tidak, baik dia mampu memahami dan masuk dalam akalnya, ataupun akal dan pemahamannya tidak mampu mencernanya. Berbeda dengan orang-orang atheis yang mendustakan perkara-perkara gaib, karena akal-akal mereka yang terbatas lagi lalai tidak sampai kepadanya, akhirnya mereka mendustakan apa yang tidak mampu dipahami oleh ilmu mereka, yang pada akhirnya rusaklah akal-akal mereka, sia-sialah harapan mereka, dan (sebaliknya) bersihlah akal kaum Mukminin yang membenarkan lagi mengambil hidayah dengan petunjuk Allah.

Allah Di Atas Arsy Di Langit


Allah Di Atas Arsy Di Langit

Firman Allah Ta’ala:

{ وَهُوَ ٱللَّهُ فِى ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَفِى ٱلْأَرْضِ ۖ يَعْلَمُ سِرَّكُمْ وَجَهْرَكُمْ وَيَعْلَمُ مَا تَكْسِبُونَ}

“Dan Dialah Allah (Yang disembah), baik di langit maupun di bumi; Dia mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan apa yang kamu lahirkan dan mengetahui (pula) apa yang kamu usahakan.” (Q.S. Al-An’am: 3)

Pembaca yang budiman, banyak orang Islam bila ditanya dimana Allah, dijawab, Allah ada dimana saja, lalu menunjukkan ayat di atas sebagai dalilnya dan disertai ayat-ayat lain. Pendapat ini salah.

Ibnu Katsir berkata, para ahli tafsir berbeda faham mengenai ayat di atas, akan tetapi mereka sepakat mengingkari pendapat golongan Jahmiyah (kelompok sesat) yang mengatakan bahwa Allah ada di setiap tempat atau ada di mana saja, dan mereka merujuk kepada ayat di atas sebagai dalilnya.

Pendapat yang paling benar adalah Allah adalah Dzat yang disembah dan diesakan di langit dan di bumi, diakui ketuhanannya oleh manusia di bumi dan para malaikat di langit. Mereka menyebut-Nya “Allah”. Mereka menyeru-Nya dengan rasa harap dan takut kecuali makhluk kafir dari golongan jin dan manusia. Ayat itu semakna dengan ayat berikut:

002 TAFSIR AL-BAQARAH: Ayat 1-2



1 -       {الٓمٓ}

2 -{ذَٰلِكَ ٱلْكِتَٰبُ لَا رَيْبَ ۛ فِيهِ ۛ هُدًۭى لِّلْمُتَّقِينَ}

1 - “Alif Laam Miim.”

2 – “Kitab (Al Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa.”


Kosakata

[ذَٰلِكَ] : Ini; diartikan ‘ini’ dengan pengisyaratan dekat namun lafadznya adalah isyarat jauh menunjukkan ketinggian manzilah dan kadarnya.

[ٱلْكِتَٰبُ]: Kitab (yang dimaksud adalah Al-Qur’an)

[رَيْب] : Keraguan

[هُدۭى] : Petunjuk

[لِّلْمُتَّقِينَ] : Lam bermakna: untuk; bagi. Sementara Al-Muttaqiin adalah orang-orang bertaqwa.



TAFSIR (Tafsir As-Sa’dy):